
 Tanyalah pada dirimu sendiri tentang tanda-tanda ilmu yang  bermanfaat, apakah tanda-tanda di bawah ini ada pada dirimu? (1)  Mengamalkannya, (2) tidak suka dipuji dan menyombongkan diri kepada  orang lain, (3) semakin tawadhu’ setiap kali bertambah ilmu, (4)  menjauhi cinta kedudukan, popularitas, dan keduniaan, (5) tidak  mengklaim dirinya berilmu, (6) berprasangka buruk kepada dirinya sendiri  namun berprasangka baik kepada orang lain agar tidak mencela mereka.
 Ini adalah ciri-ciri ilmu yang bermanfaat.
 Tunaikanlah zakat ilmu, yaitu dengan menegakkan kebenaran,  memerintahkan kepada yang ma’ruf, mencegah yang munkar, menimbang antara  yang maslahat dengan mudharat, menyebarkan ilmu, suka memberi manfaat  dan pertolongan serta kebaikan bagi umat Islam dalam musibah yang  menimpa mereka.
 Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Apabila  anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya kecuali tiga  perkara: shadaqah jariyah (amal yang pahalanya selalu mengalir), ilmu  yang bernamfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim  dan lainnya). Sebagian ulama berkata, “Tiga perkara ini tidak mungkin  bisa terkumpul pada diri seseorang kecuali pada seorang ulama yang  mengajarkan ilmunya.” Karena, kalau dia mengajarkan ilmu, itu merupakan  shadaqah dan orang yang belajar kepadanya adalah anaknya. Maka,  perhatikanlah adab ini karena ini adalah buah dari ilmumu. Dan karena  keagungan ilmu inilah, maka dia akan semakin bertambah dengan semakin  banyak didermakan namun akan berkurang kalau disimpan. Jangan engkau  berdalih dengan rusaknya zaman dan banyaknya orang-orang fasiq dan  kecilnya manfaat dari sebuah nasihat lalu engkau tidak menjalankan  kewajiban menyampaikan ilmu. Kalau itu yang engkau lakukan, maka itu  akan menjadikan orang-orang fasiq memperoleh kesempatan emas agar  benar-benar bisa meninggalkan perbuatan mulia dan mengangkat bendera  kehinaan.
 Zakat ilmu itu bisa dengan beberapa cara. Pertama,  menyebarkan ilmu. Sebagaimana seseorang bershadaqah denan hartanya, maka  seorang yang berilmu bersedhaqah dengan ilmunya. Bahkan, shadaqahnya  orang yang berilmu lebih kekal dan sedikit biaya. Sisi lebih kekalnya  karena barangkali ada sebuah kalimat saja yang disampaikan oleh seorang  ulama, namun didengar oleh orang banyak. Sampai saat ini kita masih bisa  mengambil manfaat dari hadits Abu Hurairah ini, tetapi tidak bisa sama  sekali mengambil manfaat satu dirham pun yang diinfakkan oleh para  khalifah pada masa beliau.
 Demikian juga kita bisa mengambil manfaat dari kitab dan ilmu para  ulama. Zakat ini tidak akan mengurangi ilmu, bahkan akan semakin  menambahnya. Berkata seorang penyair: “Ilmu itu akan semakin bertambah  dengan menginfakkannya. Dan akan berkurang jika engkau rapat  menyimpannya.”
 Juga, di antara zakat ilmu adalah mengamalkannya, karena dengan  mengamalkannya, maka ini merupakan cara mendakwahkannya. Orang yang  meniru seorang ulama karena amal perbuatannya lebih banyak daripada yang  menirunya karena ucapannya. Dan ini merupakan zakat dari ilmu tersebut,  karena orang lain akan mengambil manfaatnya.
 Di antara zakat ilmu juga adalah menegakkan kebenaran. Ini merupakan  salah satu cara menyebarkan ilmu, karena menyebarkan ilmu itu  kadang-kadang ada waktu aman, kadang-kadang pada waktu genting. Saat  genting itulah seseorang harus menegakkan kebenaran.
 Juga, di antara menunaikan zakat ilmu adalah memerintahkan kepada  kebenaran dan mencegah dari kemunkaran. Tidak diragukan lagi bahwa ini  merupakan zakat ilmu, karena orang yang memerintahkan pada kebaikan dan  mencegah dari kemunkaran pasti dia itu mengetahui mana yang baik dan  mana yang munkar, lalu dia menjalankan kewajibannya atas apa yang telah  dia ketahui.
 Yang dimaksud dengan sesuatu yang ma’ruf adalah semua yang  diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, sedangkan munkar adalah semua  yang dilarng oleh Allah dan rasul-Nya. Amar ma’ruf nahi munkar ini  dengan tetap menimbang antara maslahat dan mudharatnya, karena  kadang-kadang merupakan tindakan yang bijak apabila engkau tidak  mencegah sebuah kemunkaran karena ada maslahat yang lebih besar. Oleh  karena itu, seseorang harus memandang pada maslahat dan mudharat ini.
 Perkataan Syaikh: “Menyebarkan ilmu dan senang memberi manfaat kepada  orang lain.” Maksudnya engkau menyebarkan ilmu dengan segala cara, baik  dengan ucapan maupun tulisan atau juga dengan cara lainnya. Pada zaman  kita sekarang ini Allah telah memudahkan banyak jalan untuk menyebarkan  ilmu, maka engkau harus mempergunakan kesempatan ini untuk menyebarkan  ilmu yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu. Karena, Allah telah  mengambil janji setia kepada ahli ilmu untuk menjelaskannya kepada orang  lain dan jangan sampai menyimpannya.
 Adapun perkataan Syaikh: “Sebagian ulama berkata: ‘Menyampaikan ilmu  itu merupakan shadaqah jariyah bagi seorang ulama dan orang yang belajar  kepadanya adalah anaknya’.” Ini merupakan sebuah kesalahan, yang benar  bahwa yang dimaksud dengan “shadqah jariyah” adalah bershadaqah dengan  harta benda. Adapun bershadaqah dengan ilmu, maka telah disebutkan oleh  Rasulullah dalam sabda beliau setelahnya: “Atau ilmu yang bermanfaat.” Adapun sabda beliau: “Atau anak shaleh.” Yang dimaksud adalah anak keturunannya, bukan anak didiknya.
 Sedangkan membawa hadits tersebut pada makna bahwa orang berilmu yang  mengajarkan ilmunya itu sebagai shadaqah yang kekal, yang akan bisa  diambil manfaat sepeninggalnya, lalu murid-muridnya adalah anak-anaknya,  maka ini adalah sebuah penafsiran yang sangat sempit terhadap hadits  ini.
 Sebenarnya hadits ini menunjukkan pada tiga jenis amalan yang bisa  diambil manfaatnya oleh seseorang setelah meninggal dunia, yaitu  “shadaqah jariyah”. Shadaqah itu ada yang bersifat langgeng dan ada yang  bersifat temporer. Misalnya, jika engkau memberikan makanan kepada  orang faqir, maka ini adalah shadaqah, tetapi itu shadaqah yang bersifat  temporer, namun jika engkau membuat sebuah sumur yang dimanfaatkan  untuk minum oleh umat Islam, maka inilah “shadaqah jariyah” (shadaqah  yang pahalanya selalu mengalir).
 Sebaiknya Syaikh mengatakan: “Karena berkahnya ilmu.” Bahasa ini  lebih tepat karena ilmu itu akan semakin bertambah dengan semakin banyak  disampaikan.
 Kemuliaan para Ulama
 Berhias diri dengan keagungan para ulama dengan cara menjaga ilmu dan  mengagungkannya serta menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Dengan kadar  apa yang engkau curahkan untuk ini semua maka engkau akan mampu  memperoleh dan mengamalkannya, juga sebaliknya dengan kadar engkau  meremehkannya, maka sebatas itu juga akan hilang kemuliaan itu darimu,  wala haula wala quwwata illa billaah.
 Oleh karena itu, berhati-hatilah jangan sampai engkau turuti kemauan  orang-orang yang sombong dan jangan sampai engkau dikendalikan oleh  orang-orang bodoh, sehingga engkau lunak dalam memberi fatwa, memutuskan  hukum, dan penelitian atau teguran. Serta janganlah engkau berusaha  mendapatkan kenikmatan dunia dengan ilmumu dan janganlah engkau berdiri  di pintu-pintu mereka serta jangan pula kau sampaikan ilmu ini pada yang  bukan ahlinya meskipun dia orang yang berkedudukan tinggi.
 Menjaga dan mengagungkan ilmu memanglah sebuah keagungan dan  kemuliaan, karena seseorang apabila menjaga ilmunya dari perbuatan hina  dan dari menginginkan kepunyaan orang lain, maka ini akan lebih mulia  dan lebih agung bagi dirinya. Adapun mengenai seseorang tidak boleh  membawa ilmu ini kepada para pengagung kenikmatan dunia, juga tidak  menyampaikan kepada yang bukan ahlinya, meskipun dia berkedudukan  tinggi, maka perkataan ini perlu diperinci. Yaitu, kalau engkau  menyampaikan ilmu tersebut kepada para pengagung kemewahan dunia namun  mereka bisa mengambil manfaatnya, maka itu adalah sesuatu yang baik, dan  ini masuk dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar. Adapun kalau mereka  menghina ulama yang menyampaikan ilmu kepada mereka, maka tidak  selayaknya ia melakukannya, karena itu adalah penghinaan bagi dirinya  sekaligus bagi ilmu yang diembannya. Misalnya ada seorang ulama yang  datang kepada mereka, lalu dia menyampaikan beberapa masalah ilmiah,  namun mereka mencemooh, maka saat itu tidak layak baginya untuk duduk  bersama mereka, karena ini adalah penghinaan bagi dirinya sekaligus bagi  ilmu yang dibawanya. Adapun kalau dia berbicara kepada mereka, dan  tanggapan mereka baik serta mereka mau menerimanya, maka dalam keadaan  seperti ini dia wajib melakukan dakwah kepada mereka. Jadi, tergantung  pada keadaan masing-masing.
 Pergunakanlah mata dan pikiranmu untuk membaca biografi para ulama  yang telah lampau, maka engkau akan mengetahui sebuah usaha keras dalam  menjaga kehormatan ulama ini, terutama kitab yang membahas masalah ini,  seperti kitab Min Akhlaaqil Ulama’ oleh Muhammad Sulaiman, dan kitab Al-Islam bainal Ulama’ wal Hukkaam oleh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, dan kitab Manaabijul Ulama’ fil Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar oleh Faruq as-Samurrai.
 Dan, saya berharap engkau akan mengetahui lebih banyak dari apa yang telah mereka sebutkan dalam kitab Izzatul Ulama’–semoga  Allah memudahkan penyelesaiannya dan penerbitannya. Dahulu para ulama  selalu mendiktekan syair Al-Jurjani ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz (wafat tahun  392 H) sebagaimana akan kita lihat pada orang-orang yang menulis  biografinya.
 Kitab terbaik dalam masalah ini sepengetahuanku adalah kitab Raudhatul Uqala’  oleh Al-Busni. Meskipun kecil, di dalamnya banyak terkandung faedah dan  nasihat para ulama ahli hadits dan lainnya. Kitab ini dulu adalah  kurikulum dalam sekolah saat kami masih belajar, yang banyak memberi  manfaat bagi siswa.
 Awal dari syair yang dimaksud itu adalah sebagai berikut.
“Mereka mengatakan pada dirimu bahwa engkau seorang pengecut.
Sebenarnya yang mereka lihat adalah orang yang mundur dari sebuah kehinaan.
Saya melihat orang-orang kalau ada yang mendekatinya akan terasa hina dalam pandangan mereka.
Dan orang yang merasa tinggi jiwanya maka akan terhormat.
Seandainya para ulama menjaga ilmunya, maka ilmu itu akan menjaganya.
Dan seandainya mereka mau mengagungkannya dalam jiwa mereka, maka mereka akan menjadi terhormat.”
 Maksudnya, dia akan menjadi terhormat dalam pandangan manusia, bila  mau menjaganya. Namun mereka menghinakannya dan memberikannya pada semua  orang.
 Memelihara Ilmu
 Apabila engkau sudah menduduki jabatan, ingatlah bahwa tali yang  mengantarkanmu ke arah itu adalah ilmu yang telah engkau peroleh. Dengan  karunia Allah lalu dengan sebab ilmu yang engkau pelajarilah engkau  dapat mencapai derajat ini, bisa menjadi seorang guru, ahli fatwa, dan  hakim, serta lainnya. Oleh karena itu, tempatkanlah ilmu tersebut pada  tempatnya yang layak dan jagalah kehormatannya dengan tetap  mengamalkannya. Hindarilah jalan orang-orang yang tidak mengharapkan  pahala dari Allah, yaitu orang-orang yang tujuan pokok mereka adalah  menjaga kursi jabatannya, mereka melipat lisan-lisan mereka dari  mengucapkan kebenaran, juga suka basa-basi karena cintanya pada  kekuasaan. Jagalah harga dirimu dengan tetap menjaga agamamu, serta  jagalah kehormatanmu dengan perbuatan hikmah, ilmu, dan strategi yang  bagus. “Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah Allah saat  senang, niscaya Allah akan menjagamu saat sulit.”
 Mudarah Bukan Mudahanah
 Mudahanah adalah akhlak tercela, adapun mudarah bukan tercela, jangan  mencampuradukkan antara keduanya, sehingga sikap mudahanahmu akan  menjadikanmu bersikap munafik secara terang-terangan. Oleh karena itu,  sikap mudahanah inilah yang bisa merusak agamamu.
 Mudahanah adalah sikap relah dengan perbuatan tercela yang  dilakukan oleh orang lain, serta dia pun membiarkan mereka melakukannya.  Adapun mudarah adalah tekad hati untuk mengingkari perbuatan  tercela tersebut, namun dia bersikap agak lunak padanya untuk menarik  simpatinya atau dia akan menundanya pada waktu lain, sehingga akan  tercapai maslahah yang dia inginkan.
 Dari sini maka perbedaan antara mudarah dan mudahanah adalah bahwa mudarah itu bertujuan untuk memperbaiki keadaan, hanya saja dengan cara pelan-pelan dan bertahap. Adapun mudahanah  adalah sikap menyetujui perbuatan tercela. Lafaz ini diambil dari kata  duhn (minyak), karena minyak itu bisa mempermudah banyak urusan.
 Sangat Cinta (Gandrung) kepada Kitab
 Tentang keutamaan ilmu sudah diketahui oleh banyak orang, karena  manfaatnya yang sangat luas. Kebutuhan yang mendesak untuk memperoleh  ilmu itu seperti kebutuhan badan terhadap pernapasan. Akan nampak  kekurangannya seiring dengan berkurangnya ilmu, demikian juga akan  mendapatkan kenikmatan dan kegembiraan pada saat mendapatkannya. Oleh  karena itu, para pelajar sangat senang belajar, juga senang untuk  mengumpulkan kitab dan memilihnya. Banyak cerita yang berhubungan dengan  masalah ini, yang semuanya tercatat pada kitab Khabarul Kitab.  Semoga Allah memudahkan penulisan dan pencetakannya. Oleh karena itu,  pilihlah kitab-kitab pokok. Dan ketahuilah bahwa salah satu kitab tidak  bisa mewakili kitab lainnya. Oleh karena itu, janganlah engkau kumpulkan  dlaam perpustakaanmu kitab-kitab yang tidak berharga, terutama  kitab-kitab ahli bid’ah, karena itu adalah racun yang sangat berbahaya.
 Di antara hal yang harus diperhatikan oleh seorang pelajar adalah  mengoleksi kitab. Dan hendaknya kitab yang dia koleksi adalah kitab yang  berharga. Namun, kalau gajimu hanya sedikit, maka tidak selayaknya  membeli banyak kitab, yang sampai membuatnya berutang untuk membelinya.  Ini merupakan perbuatan yang kurang bijak.
 Perhatikanlah kitab-kitab pokok yang ditulis oleh para ulama salaf,  karena kitab yang ditulis oleh para ulama salaf lebih baik dan  berbarakah dibandingkan dengan kitab orang-orang khalaf. Dan hindarilah  perpustakaanmu dari kitab-kitab yang tidak ada kebaikannya.
 Daftar Kitab dalam Perpustakaanmu
 Hendaklah engkau mengoleksid kitab-kitab yang disusun berdasarkan  cara pengambilan dalil dan cara memahami alasan di balik ketentuan hukum  serta yang mendalami inti dari berbagai permasalahan. Di antara  kitab-kitab itu yang terbaik adalah kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  rhm. dan murid beliau, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rhm. Juga, kitab  sebelum dan sesudah masa beliau berdua, yaitu kitab-kitab karya:
 - Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Bar rhm. (wafat th 463 H), dan kitab beliau yang paling baik adalah At-Tamhiid.
 - Al-Hafizh Ibnu Quddamah rhm. (wafat th 620 H), dan kitab beliau yang paling bagus adalah Al-Mughni.
 - Al-Imam an-Nawawi rhm (wafat th 676 H).
 - Al-Imam adz-Dzahabi rhm. (wafat th 748 H).
 - Al-Hafizh Ibnu Katsir rhm. (wafat th 774 H).
 - Al-Hafizh Ibnu Rajab rhm. (wafat th 795 H).
 - Al-Hafizh Ibnu Hajar rhm. (wafat th 852 H).
 - Al-Hafizh asy-Syaukani rhm. (wafat th 1250 H).
 - Al-Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rhm. (wafat th 1206 H).
 - Kitab-kitab imam-imam dakwah rhm., terutama kitab Ad-Durar as-Sunniyah.
 - Al-Imam ash-Shan’ani rhm. (wafat th 1182 H), terutama kitab beliau, Subulus Salam.
 - Al-’Alamah Shiddiq Hasan Khan rhm. (wafat th 1307 H).
 - Al-’Allamah Muhammad Mukhtar asy-Syinqihi rhm. (wafat th 1393 H), terutama kitab beliau, Adhwaa-ul Bayan.
 
 Cara Berinteraksi degan Kitab
 Janganlah engkau membaca sebuah kitab sebelum mengetahui istilah yang  dipakai oleh penulisnya, yang sering kali hal ini dijelaskan dalam  muqaddimahnya. Oleh karena itu, mulailah membaca sebuah kitab dari  muqaddimahnya.
 Cara berinteraksi dengan kitab bisa dengan beberapa cara.
 - 1. Mengetahui judulnya.
 - 2. Menetahui istilah-istilahnya, dan ini biasanya terdapat dalam  muqaddimah. Karena, dengan mengetahui istilah-istilah tersebut, engkau  bisa menghemat banyak waktu.
 - 3. Mengetahui gaya bahasa dan ungkapan penulis. Dalam kitab-kitab  ilmiah, engkau akan menemukan banyak istilah atau ungkapan yang  membutuhkan perenungan dan pemikiran mengenai maknanya, karena engkau  belum terbiasa menghadapinya.
 
 Hal Lain dalam Berinteraksi dengan Kitab
 Apabila engkau mendapatkan sebuah kitab, maka janganlah engkau  masukkan ke dalam perpustakaanmu kecuali engkau sudah selesai membacanya  secara sekilas atau engkau baca muqaddimahnya atau daftar isinya atau  beberapa bagian dalam kitab tersebut. Adapun kalau engkau tumpuk saja  bersama kitab yang sejenis dalam perpustakaanmu, maka barangkali tahun  demi tahun berjalan dan umur pun semakin bertambah sementara engkau  tidak sempat menelaahnya. Dan hal ini sering kali terbukti. Hanya Allah  Yang Kuasa memberi taufik.
 Menyempurnakan Tulisan
 Jika engkau menulis, maka sempurnakanlah tulisan itu dengan cara:
 - Tulisan yang bagus.
 - Menulisnya sesuai dengan kaidah cara penulisan yang benar (imla’).  Banyak kitab yang dikarang untuk membahas masalah ini, di antaranya Kitaabul Imla’ oleh Husain Wali, Qawaa’idul Imla’ oleh ‘Abdus Salam Muhammad Harun dan Al-Mufrad al-Alam oleh Al-Hasyimi.
 - Memberi titik atau tidak pada huruf yang tepat.
 - Memberi harakat pada kata yang sulit.
 - Memberi tanda baca yang benar pada selain ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
 
 Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj.  Ahmad Sabiq, Lc, editor isi Abu ‘Azzam (Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005);  judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).
 Oleh: Abu Annisa
 alislamu.com/artikel/941-merealisasikan-ilmu-dengan-amal-perbuatan.html